Sejarah
Program Studi Linguistik Program Doktor
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana mulai menerima mahasiswa
dan kuliah perdana pada tahun akademik 1999/2000. Hingga tahun akademik
2020/2021 program ini telah berusia 22
(dua puluh dua) tahun, berdasarkan SK Nomor 300/Dikti/1998 tanggal 14
Agustus 1998, tentang Pembentukan Program Studi Linguistik
Program Doktor Universitas
Udayana dan merupakan program doktor pertama di Universitas Udayana. Pembukaan
program Doktor pertama ini berkat keuletan, ketekunan dan kerja yang tidak
mengenal lelah dari (alm) Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, (alm) Prof.
Dr. I Wayan Bawa dan sejumlah dosen lainnya sebagai perintis. Merintis
program sebenarnya sudah mulai sejak membuka beberapa Jurusan di Fakultas
Sastra sebagai cikal bakal Universitas Udayana. Inspirasi ini terus
mendorong pendahulu kita sebagai perintis pembuka program jenjang Magister
Linguistik (1992) dan Doktor Linguistik (1999). Sejak tanggal 23
Januari tahun 2004 hingga akhir tahun akademik 2020/2021 ini Program ini telah
menamatkan ratusan doktor linguistik. Tahun 2016 Program
Studi Linguistik Program Doktor OTK (Organisasi Tata Kelola) menjadi satu induk
dengan Fakultas Ilmu Budaya tahun 2016, yang sebelumnya dibawah Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Sebagai lembaga pendidikan doktor yang
memasuki usia remaja, Program ini terus berbenah dengan membangun kredibilitas,
citra, dan mutu menjadi keniscayaan. Kendatipun demikian, keterbatasan
dan kekurangan dalam sejumlah komponen penyangga jelas masih mewarnai dan juga
mengendalai perkembangannya. Tetapi, keterbatasan, tantangan, dan kendala itu
dapat diatasi karena keberadaan Program ini mulai dirasakan manfaatnya,
khususnya pengembangan jumlah sumber daya doktor ilmu linguistik di Indonesia
yang masih sedikit.
Pendirian program ini bertolak dari beberapa
dasar pertimbangan. Pertama, kebutuhan doktor linguistik untuk
mendidik magister (S-2) dan sarjana (S-1) linguistik di sejumlah fakultas
sastra dan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Kedua, kebutuhan tenaga
peneliti dan pemberdayaan bahasa-bahasa nusantara karena bahasa-bahasa
nusantara itu di antaranya sudah terancam kepunahan, termasuk penelitian
(perkembangan) bahasa Indonesia dan bahasa asing di Indonesia. Ketiga, ada
sejumlah magister linguistik FIB Unud dan juga magister linguistik dari luar
Unud yang di antaranya potensial dan bermotivasi tinggi untuk mengikuti
pendidikan doktor linguistik. Keempat, perkembangan paradigma kelinguistikan
mutakhir yang menuntut kompetensi dan kompetisi kesejagadan demi pengembangan
linguistik khususnya dan ilmu humaniora umumnya.
Sebagai lembaga yang menginjak usia sembilan belas tahun, pengelolaannya memang
membutuhkan pembenahan, koreksi, dan inovasi. Di sisi lain, perkembangan
spesialisasi di bidang linguistik di Indonesia mensyaratkan lebih banyak lagi
jumlah (dan mutu) dosen pengampu dan pengembang subdisiplin linguistik yang
hingga kini masih kurang. Kekurangan jumlah dosen dengan spesialisasi
kelinguistikan menjadi penyebab belum berimbangnya masukan (input) dan
keluaran (output). Demikian juga keterbatasan sarana, dana, dan
fasilitas, merupakan faktor lain yang mengendalai perkembangan pendidikan
doktor ilmu linguistik, padahal peminat dan animo magister linguistik
untuk mendalami linguistik di Program ini setiap tahunnya cukup tinggi.
FAKULTAS ILMU BUDAYA